Cucu Adam: Ini semua
gara-gara sampean, Mbah.
Adam: Loh, kok tiba-tiba
aku disalahin.
CA: Lah iya, gara-gara
sampean dulu makan buah terlarang, aku sekarang merana. Kalau sampean dulu
enggak tergoda Iblis kan kita tetap di surga. Enggak kayak sekarang, sudah
tingggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di negara terkorup, sudah gitu jadi
orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu?
A: Yo mbuh, sudah lupa.
Kejadiannya sudah lama banget. Tapi ini bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya.
CA: Halah, kayak obat
kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih kok sampean
bisa tergoda?
A: Dia bilang, kalau
makan buah itu aku bisa abadi.
CA: Anti-aging gitu?
A: Iya. Pokoknya kekal.
CA: Terus sampean
percaya? Iblis kok dipercaya.
A: Lha wong dia senior.
CA: Maksudnya senior?
A: Iblis kan lebih dulu
tinggal di surga dari aku dan mbah putrimu.
CA: Iblis tinggal di
surga? Boong ah.
A: Nah ini nih kalo puasa ndak baca Quran. Baca Al-Baqarah ayat 30-38. Coba kowe pikir, gimana dia bisa mbisiki aku yang ada di surga kalo dia ndak tinggal di surga juga?
A: Nah ini nih kalo puasa ndak baca Quran. Baca Al-Baqarah ayat 30-38. Coba kowe pikir, gimana dia bisa mbisiki aku yang ada di surga kalo dia ndak tinggal di surga juga?
CA: Oh iya, ya. Tapi,
walau pun Iblis yang mbisiki, tetep sampean yang salah, Mbah. Gara-gara
sampean, aku jadi kere kayak gini.
A: Kowe salah lagi.
Manusia itu ndak diciptakan untuk menjadi penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah
: 30. Sejak awal, sebelum aku lahir… eh, sebelum aku diciptakan, Tuhan sudah
berfirman ke para malaikat kalo Dia mau menciptakan manusia yang menjadi
khalifah (wakil Tuhan) di bumi.
CA: Lah, tapi kan sampean
dan mbah putri tinggal di surga?
A: Iya, sempet, tapi itu
cuma transit. Makan buah terlarang atau ndak, cepat atau lambat, mbahmu ini
pasti diturunkan ke bumi untuk menjalankan tugas dari-Nya: memakmurkan bumi. Di
surga itu masa persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan ngajarin mbah bahasa,
ngasih tahu nama semua benda (Al-Baqarah:31).
CA: Jadi di surga itu
cuma sekolah?
A: Kurang lebih kayak
gitu. Waktu di surga, simbahmu ini belum jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru
setelah turun ke bumi.
CA: Aneh.
A: Kok aneh?
CA: Ya aneh, menyandang
tugas wakil Tuhan kok setelah sampean gagal, setelah gak lulus ujian, termakan
godaan Iblis? Pendosa kok jadi wakil Tuhan.
A: Lah, justru itu
intinya. Kemuliaan manusia itu ndak diukur dari apakah dia bersih dari
kesalahan atau ndak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau ndak
melakukannya. Tapi, bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan.
Manusia itu pasti pernah keliru, Tuhan tahu itu. Tapi, meski demikian, toh Dia
memilih mbahmu ini, bukan malaikat.
CA: Jadi, gak papa kita
bikin kesalahan, gitu?
A: Ya ndak gitu juga.
Kita ndak isa minta orang ndak melakukan kesalahan. Kita cuma isa minta mereka
untuk berusaha tidak melakukan kesalahan. Namanya usaha, kadang berhasil,
kadang enggak.
CA: Sampean berhasil atau
gak?
A: Dua-duanya.
CA: Kok dua-duanya?
A: Aku dan mbah putrimu
melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi kami berdua kemudian menyesal dan
minta ampun. Penyesalan dan mau mengakui kesalahan, serta menerima
konsekuensinya (dilempar dari surga), adalah keberhasilan.
CA: Ya kalo cuma gitu
semua orang bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Mbah.
A: Berguna toh ya. Karena
menyesal, aku dan mbah putrimu dapat pertobatan dari Tuhan dan dijadikan
khalifah (Al-Baqarah:37). Bandingkan dengan Iblis, meski sama-sama diusir dari
surga, tapi karena ndak tobat, dia terkutuk sampe hari kiamat.
CA: Sampean iki lucu,
Mbah.
A: Lucu piye?
CA: Lah kalo dia tobat,
ya namanya bukan Iblis lagi.
A: Bener juga kamu ya,
he-he-he. Tapi intinya gitu lah. Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang ndak
manusiawi, yang iblisi, itu kalo sudah salah tapi merasa bener, sombong.
CA: Jadi kesalahan
terbesar Iblis itu apa? Ndak ngakuin Tuhan?
A: Iblis bukan ateis, dia
justru monoteis. Percaya Tuhan yang satu.
CA: Mosok sih, Mbah?
A: Lha wong dia pernah
ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok.
CA: Terus, kesalahan
terbesar dia apa?
A: Sombong: menyepelekan
orang lain dan memonopoli kebenaran.
CA: Wah, persis cucu
sampean tuh, Mbah.
A: Ente?
CA: Bukan. Cucu sampean
yang lain. Mereka mengaku yang paling bener, kalo ada orang lain berbeda
pendapat akan mereka serang. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain
menghormati mereka, tapi mereka ndak mau menghormati orang lain. Kalo sudah
ngamuk nih Mbah, orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak.
Setelah itu mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe
ngebom segala loh.
A: Wah, persis Iblis tuh.
CA: Tapi mereka siap mati
Mbah, karena kalo mereka mati nanti masuk surga.
A: Siap mati, tapi ndak
siap hidup.
CA: Bedanya, Mbah?
A: Orang yang ndak siap
hidup itu ndak siap menjalankan agama.
CA: Loh, kok?
A: Lah, aku dikasih agama
oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (Al-Baqarah:37). Bukan waktu di surga.
CA: Jadi, artinya, agama
itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?
A: Pinter kowe.
CA: Cucu siapa dulu.
A: Cucuku dan mbah
putrimu.
CA: BTW, Mbah. Sampean
itu kan terkenal dengan satu nama: Adam. Tapi mbah putri itu namanya kok
beda-beda? Yang bener iku Hawa, Eve, atau Eva.
A: Sak karepmu. What’s in
a name?
CA: Shakespeare, Mbah?
A: Mbuh, sak karepmu.
No comments:
Post a Comment